Memasuki awal semester 5 kuliah di jurusan bisnis digital, aku memutuskan untuk mengikuti program MBKM (Magang Bersama Kampus Medeka) atau Magang Berdampak dengan program Stupen atau Studi Independent di Future Skills Indonesia by Pijar Foundation, kebetulan aku mendaftar di 4 mitra dan alhamdulillah semua lolos seleksi dan di semester 5 ini aku mendapatkan rekognisi nilai SKS sebanyak 20 SKS dari kampus untuk mengikuti program ini
Salah satu mitra yang aku daftar dan lolos sampai ke penawaran adalah Demokrasi Digital, yaitu NGO (Non Governmental Organization) that focuses on protecting the quality of democracy in a hybrid world (Source: Linkedin Demokrasi Digital).
Singkat cerita, alasan awal kenapa aku tertarik memilih kelas ini dari banyaknya kelas yang ditawarkan Future Skills karena simpel saja sebenarnya, aku langsung tertuju pada kata kunci 'Algoritma dan Literasi Digital' yang menjadi pertimbangan aku memilih kelas yang harapannya bisa di konversi ke mata kuliah di semester 5 ini. Dan alhamdulilahnya, setelah melalui seleksi seperti essay aku lolos dan bisa mengikuti perkuliahan 1 semester bersama mitra Demokrasi Digital.
 |
| source : futureskills |
Program ini membedah algoritma sebagai alat kekuasaan yang mampu membentuk wacana politik, memperkuat ketimpangan ekonomi, hingga melestarikan bias budaya. Ditujukan untuk generasi Z, baik mahasiswa, fresh graduated, maupun profesional muda, program ini menawarkan kerangka kritis untuk memahami sekaligus menantang sistem algoritmik yang mengatur kehidupan digital kita sehari-hari.
Dengan mengacu pada inisiatif literasi algoritmik UNESCO, kajian kritis tentang platform digital, serta riset terkait kerja digital, peserta akan dibekali keterampilan untuk mengenali, menganalisis, dan melawan bentuk-bentuk penindasan yang lahir dari algoritma.
Objektif Pembelajaran:
Algoritma bukan sekadar alat teknis yang netral, melainkan alat-alat politik yang menyimpan sekaligus memperbesar struktur kekuasaan yang sudah ada. Memahami dampak sosial-politik dari algoritma menjadi kunci penting untuk memastikan partisipasi demokratis dan mewujudkan keadilan sosial di abad ke-21.
Belajar Apa Aja?
Aku merangkum dan membuat catatan poin-poin penting yang disampaikan narasumber, aktivis, praktisi yang mengisi kelas selama 8 pertemuan kelas yang aku ikuti bersama mitra Demokrasi Digital berikut ini:
Pertemuan 1 : Mengapa Memahami Algoritma Itu Penting
 |
| source: Instagram Demokrasi Digital |
Pertemuan mentoring ke-1 narasumber ka Stella Nau membahas topik mengenai dasar dan fundamental mengapa algoritma itu penting?
Dalam pembahasan materi algoritma ini, ka stella menekankan bahwa jangan tanamkan algoritma itu hal yang susah, karna berkaitan dengan teknologi, tetapi pahami bahwa algoritma itu sederhana dan ada di sekeliling kita
Sederhananya, algoritma itu sebuah dasar atau tata cara juga urutan langkah langkah yang diambil guna menyelesaikan masalah/ problem solving, sehingga kerangka berpikir kita lebih logis, terarah, dan sistematis tidak menelan mentah mentah data atau informasi yang kita dapatkan di sekitar khususnya sosial media
Algoritma mengubah data-data menjadi bermakna dan dibutuhkan untuk proses selanjutnya menjadi sistem yang cerdas. Algoritma ini menjadi fondasi utama dalam pengembangan teknologi informasi seperti Internet of Things (IoT) dan Machine Learning (ML), jadi nantinya menyediakan kerangka logis untuk mengolah data, mengambil keputusan, dan mengotomatisasi proses. Misalnya langsung di implementasikan di project IoT ya itu bisa di algoritma deteksi suhu itu untuk mengatur pendingin ruangan secara otomatis berdasarkan data dari sensor nah tentunya kan perlu algoritma nya. Jadi, dengan kata lain, algoritma bukan hanya alat teknis, tapi juga jembatan antara data dan aksi cerdas membentuk sistem yang modular, scalable, dan human-centered jadi menyatukan logika, efisiensi, dan adaptabilitas teknologi digital.
Algoritma sangat berkaitan erat dengan mengapa suatu peristiwa bisa terjadi, dari bidang apapun dan luas cakupannya, juga algoritma berkaitan dengan ilmu lain seperti GIS atau Geospatial Information System yang berkaitan dengan lokasi
Pertemuan 2: Algorithm in Political Economy
 |
source: Instagram Demokrasi Digital
|
Pada pertemuan ke-2 dengan narasumber Tim dari Demokrasi Digital, Ka Stela Nau (Ex- Jurnalis Metro TV)
Topik pembahasan kali ini adalah Algorithm in Political Economy, dimana algoritma bukan hanya ada di bidang tech, tetapi meluas mempengaruhi berbagai sektor politik dan ekonomi
Siklusnya berupa irisan antara algoritma people dan business menghasilkan irisan berupa Labor atau tenaga kerja yang diserap, kemudian antara Government dengan bisnis berupa rules yang harus dipatuhi, kemudian antara pemerintah lagi dengan people menghasilkan policy atau kebijakan yang mengatur
Algorithm as recipe books yang meliputi proses sistem informasi bisnis dan pengolahan data dari proses input, menuju pemrosesan, sampai mendapatkan output yang dihasilkan hingga bemanfaat dan mempengaruhi decision kita, pada prakteknya setiap bisnis digital bentuk aplikasi memiliki algoritma yang menjadi resep rahasia, algoritma mempelajari kebiasaan atau behaviour dari user atau konsumen sehingga menjadi fit dengan menghitung probabilitas, studi kasus pada aplikasi gojek, dimana mencari driver algoritmanya bisa dari segi performa driver dan bagaimana behaviour dari konsumen
Algorithm as Power Tools. Sebagai tools yang powerfull beberapa yang dikontrol algoritma diantaranya, control information, dimana kita sudah sangat mudah mendapatkan nya, tetapi algoritma ini mengatur apa yang direkomendasikan ke feeds kita, real time dan update kurasi nya untuk menginfokan what actually happening in world, selanjutnya algoritma control work, maraknya GIG WORK, seperti gig economy platform, employment algorithms, kemudian algoritma control money, seperti credit scores, loans, invest decision, terakhir global dominance, dimana algorima mempengaruhi major technology firm
Selanjutnya studi kasus algoritma pada aplikasi yang relate dengan kehidupan kita, pertama ada UBER & GIG WORK, kalau dulunya ojek pangkalan sistem nembak harga sampai akhirnya ada algoritma dan sistem yang mengatur tarif seiring penciptaan aplikasi ride hailing, dengan rating driver dan konsumen juga menjadi informasi berguna bagi algoritma untuk rekomendasi selanjutnya, algoritma dikendalikan tetapi invisible dari perusahaan
Studi kasus kedua, pada social media, dimana sekarang attention is turned into profit, bagaimana masyarakat banyak memanfaatkan socmed untuk mendapatkan revenue dan bisnis bisnis menjalankan ads atau periklanan untuk menjangkau target lebih spesifik melalui media media masa yang bisa memperoleh profit tambahan, ini bisa disesuaikan dengan business model di awal bisnis
Studi kasus ketiga, pada China’s Credit Scoring, dimana china punya level intervensi tinggi terhadap produk produk digital dari luar negara, dengan tujuan memprotect rakyat dari canggihnya algoritma, sehingga ini juga yang kita tahu bahwa china sering ada aplikasi aplikasi baru yang berbeda dengan masyarakat dunia lainnya. Aplikasi seperti Facebook, Instagram, Google, YouTube, WhatsApp, Netflix, dan X (Twitter) dilarang di Tiongkok karena kebijakan sensor pemerintah yang ketat, namun aplikasi-aplikasi tersebut tetap digunakan di seluruh dunia. Larangan ini adalah bagian dari upaya pemerintah Tiongkok untuk mengontrol konten internet dan mempromosikan platform domestik.
Algoritma sendiri memiliki banyak manfaat dan membantu kehidupan kita, seperti maps guiding us, memberikan streaming recommendations, menjadi smart assistant seperti Siri, Sera, ChatGPT, dan empowering economy. dan juga menciptakan big picture progress di beberapa sektor, seperti health care, ada cancer detect, drug discovery with AI, dalam ekonomi & efficiency, inovasi fraud detect, supply chain optimization, global good di pengembangan dan pembelajaran bahasa
Dari canggihnya algoritma juga menghadirkan challenge seperti transparency, dimana sistem algoritma yang dirahasiakan dan invisible, kemudian concentration of power, belum banyak bisnis yang menerapkannya juga, lain lain seperti fairness dan inequality
Algorithm is not neutral, karena bisa jadi sistem pengendali karena dibuat oleh manusia, sangat bisa dikendalikan untuk alat politik atau ekonomi, ketika AI menjadi center, government menghasilkan policy, regulations, public survei, business menghasilkan profit motives, platforms, data market, dan people menghasilkan user behaviour, consent, social impact
Semakin maju, algoritma semakin canggih dan teknologi membuat kita menjadi terpolarisasi, social media menjadi concern dan bubble algorithm, solusinya adalah dengan selalu belajar melihat dari angle lain untuk melatih conscious/ kekritikkan kita, dan pentingnya Etika yang menjadi negasi dari dampak negatif dari algoritma
Pertemuan 3 : Jejak Digital and Data Privacy
 |
source: Instagram Demokrasi Digital
|
Pada pertemuan ke-3 ini bersama narasumber Brinanda Lidwina K. (DPO Manager at Grab | OVO) membahas topik mengenai Jejak Digital and Privacy Data
Pembahasan diawali dengan privacy data yang berakar dari HAM, hak, kenyamanan, keamanan, dan pelindungan
Pelindungan data ditur di dalam UU PDP (Pelindungan Data Pribadi), pihak-pihak dalam UU PDP ini diantaranya, subjek data yang merupkan pemilik data itu sendiri, kemudian pengendali data atau pihak yang mengumpulkan data, prosesor yaitu pihak yang sengaja ditunjuk untuk mengendalikan data dan melakukan pemrosesan, terakhir ada lembaga PDP arau pengawas, penegak, sengketa di luar pengadilan
Data pribadi mengidentifikasi seseorang yang berup individu membedakan dengan individu lain dari keunikan yang dimiliki, dibagi kedalam 2 jenis, yaitu data pribadi umum dan spesifik, umum seperti nama lengkap, KTP/SIM, Email, No.HP, Alamat. Data pribadi spesifik yang rentan disalahgunakan, seperti data kesehatan, keuangan, data anak(belum cakap hukum),biometrik, dan SKCK
Kita harus mengerti dengan lingkup pemrosesan PDP, yang ada flow atau alur pemrosesan, mulai dari perolehan da pengumpulan lanjut ke pengolahan dan analisis, penghapusan dan pemusnahan, penampilan, peengumuman, transfer, penyebarluasan, pengungkapan, dilanjut perbaikan dan pembaruan terakhir penyimpanan
Dasar dari pemrosesan data pribadi mengadopsi GDPR dari Eropa untuk membuat UU PDP, jadi terdapat 6 aspek juga, diantara ada persetujuan, kontrak, kewajiban, pelindungan vital, kepentingan sah, dan kepentingan umum dan pelayanan publik
Sanksi UU PDP tertera di UU 27/2022 yang berisi kurungan, denda, sanksi administratif, pada korporasi sanksi bisa dikenakan 10x lipat, sehingga disini tugas DPO atau Data Privacy Officer bertugas untuk mengecek agar terhindar dari sanksi
JEJAK DIGITAL
 |
| source: Zoom Pertemuan 3 Demokrasi Digital |
Terbagi kedalam pasif dan aktif, yang bersumber dari aktivitas kita di web, seperti pencarian, media sosial, aplikasi, IoT, IP adress, lokasi, perilaku browsing, cookies dan lain lain
Resiko dan dampak seperti kebocoran data dan doxxing yang mempengaruhi reputasi karena sengaja disebar oleh oknum, penilaian perilaku bisa dari cookies yang akan menilai kebiasaan, asses your needs untuk informasi yang menarget, cyber bully harassment yang menyerang opini, social engineering dengan memanipulasi lewat email, link, malware, phishing dan smishing bisa berupa email palsu tampak resmi, dan excessive, targeted marketing yang sangat mengawasi setiap pergerakan kita di internet seperti algoritma
Dari Data Jadi Revenue
Dilakukan dengan cara monetisasi, lewat cookies dan trackers, penambangan data dan profiling yang kasusnya banyak dijual untuk kebutuhan advertising targeted, data brokers, apabila disalahgunakan ada hukum yang mengatur, seperti UU PDP, UU ITE, PP
Dari pertemuan kali ini diberikan beberapa tips supaya tetap aman seperti, mengurangi berbagi data dengan app, selalu double check terhadap apa yang kita share, jangan malas membaca term and condition, selalu mengenali phising, fraud, mengaktifkan incognito mode di web, VPN untuk memblok akses ke informasi sensitif, membersihkan data & cache sebelum menguninstall aplikasi
Pertemuan 4 : Bias Algoritma dan Manipulasi Informasi
 |
| source: Instagram Demokrasi Digital |
Pertemuan ke-4 ini bersama kak Moses Parlindungan Ompusunggu yang memiliki latar belakang dari lulusan hukum UGM
Pada dasarnya kita memiliki Irrational loyalty, konsep dimana kita manusia mudah membangun kesetiaan irasional terhadap hal hal yang kita percaya, dan berupaya keras mencari bukti pendukung hal hal tersebut, serta menyanggah atau menghindari informasi yang tidak mendukungnya
Hal ini genting dimiliki saat ini dimana algoritma sangat canggih membuat kita juga larut dan bias ke dalamnya terkadang tanpa filter dari maraknya manipulasi informasi atau proses sosioteknis dimana aktor-aktor dengan motivasi tertentu memanfaatkan kondisi dalam sebuah ekosistem informasi untuk mengambil perhatian publik melalui cara-cara menipu, kreatif, curang
Ditinjau dari aktor dan intensi nya sendiri, manipulasi informasi tidak eksklusif ke satu orang atau kelompok tertentu, para aktivis bisa saja mengandalkan manipulasi media di ruang digital, menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian
Dari jenisnya ada misinformasi dan disinformasi, dimana jika misinform terjadi ketika menyebar namun tidak sadar bahwa itu hoaks atau info yang disebarkan, biasanya karena solidaritas, kemudian berbeda dengan disinformasi yang memang sengaja disebar hoaks untuk mengacau, pengaruh politik dan lain lain
Kegiatan-kegiatan seperti ini dipengaruhi oleh influence operations atau sebuah taktik yang dibentuk untuk membangun perdebatan publik dan menyetir opini publik untuk berbagai tujuan strategis, biasanya ciri cirinya terkoordinasi, terfokus, bisa menargetkan perorangan atau kelompok lewat pesan-pesan bisa jadi salah, menipu, dll.
Investigasi dan analisis influence operation yang dipaparkan ada 3, yaitu analisis mesin (Machine Anallysis) yang biasanya dilakukan dengan teknik pengumpulan data dengan teknik scraping dan pengumpulan narasi dikelompokkan berdasarkan tema dan waktu. Yang kedua, framing analysis yang komponennya ada pihak yang disinggung, penyajian hubungan-hubungan, sesuai konteks dan cara penyampaiannya, cara penarikan konten dan intertekstualitas yang menghubungkan ke tema lain, seperti contohnya kampanye save raja ampat dihubungkan dengan patiwisata yang indah dikelola bukan tempatnya yang daerah kecil tujuannya untuk lebih relate dan menarik opini dan ketertarikan masyarakat
Terakhir ada discourse analysis, dimana ada cara cara menyingkap bagaimana unggahan konten dapat menguatkan pendapat, dengan menelusuri keterkaitan antar komponennya, bagaimana praktik atau konten ini diproduksi, distribusi dan di konsumsi untuk ditanggapi masyarakat dan menjadi bahan analisis, yang sumbernya bisa dari asal komponen unggahan, pola penyebaran, pemaknaan dan apa dampak yang dikejar
Pembelajaran ini memberi nasihat untuk selalu bijak dalam mengonsumsi data dan informasi dari kecanggihan algoritma sekarang yang mudah menyebar, dimana segala sesuatu agar kita tidak mudah selalu percaya dan hendaknya selalu kritis dan menganalisisnya secara mendalam sebelum benar percaya
Pertemuan 5: The Digital Dominance Dilema - Platform Raksasa, Monopoli Digital dan Krisis Demokrasi
 |
| source: Instagram Demokrasi Digital |
Di era digital saat ini, demokrasi di berbagai negara menghadapi tantangan serius yang belum pernah terjadi sebelumnya. Segelintir perusahaan teknologi besar telah menguasai ekosistem informasi, menciptakan ketimpangan dalam distribusi pengetahuan dan narasi publik. Platform seperti Google, Meta, Amazon, dan Microsoft bukan hanya menjadi penyedia layanan, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk opini masyarakat. Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana algoritma dan struktur platform digital berpengaruh terhadap kualitas demokrasi, komunikasi bisnis, serta strategi media sosial.
Konsentrasi Teknologi dan Ketergantungan Infrastruktur
Sebelum munculnya teknologi kecerdasan buatan yang semakin populer saat ini, banyak aktivitas digital sehari-hari seperti pencarian informasi bergantung pada Google. Amazon dan Microsoft telah memetakan kebutuhan masa depan secara cermat, yang menjadikan mereka pemain utama dalam penyediaan layanan cloud dan pusat data global. Lebih dari 70 persen infrastruktur penyimpanan data saat ini dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan ini. Dalam konteks algoritma dan struktur data, dominasi ini memperlihatkan bagaimana penguasaan atas data dan sistem dapat memengaruhi banyak aspek kehidupan digital.
Algoritma Sosial Media dan Pola Informasi
Platform Meta yang menaungi Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjangkau miliaran pengguna di seluruh dunia. Dengan kekuatan algoritma, platform ini menyesuaikan konten yang disajikan berdasarkan interaksi dan preferensi pengguna, bukan berdasarkan kualitas atau kebenaran informasi. Hal ini menimbulkan bias dalam distribusi informasi. Konten yang bersifat provokatif atau emosional lebih mudah viral karena sistem dirancang untuk mempertahankan atensi. Bagi mahasiswa komunikasi digital dan media sosial, hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman kritis terhadap bagaimana algoritma membentuk opini publik dan menimbulkan potensi polarisasi.
Regulasi, Privasi, dan Ketimpangan Regional
Dari sisi regulasi, Indonesia mulai mengadopsi pendekatan serupa dengan Uni Eropa dalam melindungi data pribadi. Namun, platform digital dari Amerika Serikat tetap mendominasi pasar Asia Tenggara. Sistem operasi Microsoft, misalnya, digunakan oleh lebih dari 70 persen pengguna komputer di dunia. Hal ini mencerminkan keterbatasan dalam menyediakan alternatif lokal yang setara, dan memperlihatkan urgensi untuk menciptakan kebijakan yang mendukung kompetisi sehat, termasuk dengan menerapkan prinsip antimonopoli seperti yang dilakukan di Amerika Serikat.
Krisis Ekosistem Informasi
Saat ini dunia digital menghadapi krisis dalam ekosistem informasi. Informasi yang salah atau menyesatkan terbukti menyebar jauh lebih cepat dibanding informasi yang sudah terverifikasi. Hal ini disebabkan oleh algoritma yang lebih mementingkan klik dan keterlibatan emosional daripada akurasi. Platform mendapatkan keuntungan besar dari konten yang viral, terutama dari iklan. Oleh karena itu, kesadaran digital menjadi hal yang sangat penting. Kita perlu melatih pola pikir komputasional agar tidak mudah terjebak dalam manipulasi algoritma dan bisa memahami logika sistem digital secara menyeluruh.
AI dan Perilaku Digital
Teknologi kecerdasan buatan yang semula diprediksi akan menjadi solusi peradaban kini justru sering kali menjadi perpanjangan dari pola algoritmik media sosial yang hanya berfokus pada perhatian pengguna. AI bekerja berdasarkan data input yang kita berikan. Jika tidak dipahami secara kritis, pengguna bisa mudah dimanipulasi. Meskipun AI dan platform digital telah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui munculnya banyak bisnis daring, konten kreator, dan influencer, tetap ada konsekuensi yang harus diperhatikan. Pendidikan digital dan penguatan literasi sangat diperlukan untuk mengimbangi kemajuan ini.
Ketimpangan Akses dan Polarisasi
Platform digital yang terlalu terkonsentrasi juga menciptakan tantangan baru, terutama bagi kelompok masyarakat di luar pusat-pusat kota besar. Banyak dari mereka harus beradaptasi dengan sistem yang didesain secara sentralistik, dan menghadapi tekanan dari algoritma media sosial yang menuntut retensi tinggi. Ketika diskusi publik lebih sering dipicu oleh konten viral daripada isu kebijakan substansial, maka proses demokrasi menjadi tidak sehat. Diperlukan ruang digital yang mampu menampung diskusi terbuka tanpa bergantung pada tren viral semata.
Studi Kasus Internasional
Beberapa negara seperti Finlandia, Swedia, dan Selandia Baru menunjukkan bahwa demokrasi dapat tumbuh seiring dengan literasi digital yang kuat. Di negara-negara ini, pendidikan digital dimulai sejak usia dini dan fokus pada pemahaman mendalam, bukan sekadar penggunaan teknologi. Sementara itu, di Amerika Serikat, pemerintah menggunakan kebijakan antimonopoli untuk membatasi dominasi perusahaan teknologi besar. Contohnya adalah upaya membatasi Google agar tidak memengaruhi Apple dalam sistem pencarian. Praktek ini penting untuk menjaga persaingan bisnis yang adil dan mencegah dominasi tunggal dalam sistem digital global.
Membangun Ekosistem Digital yang Beretika
Sudah saatnya ekosistem digital dibangun dengan prinsip keterbukaan dan integrasi, tidak hanya tergantung pada viralitas dan algoritma iklan. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama menciptakan ruang digital yang lebih adil dan etis. Algoritma media sosial harus diawasi dan disesuaikan agar lebih selaras dengan nilai-nilai publik, bukan sekadar mengejar keuntungan. Demokrasi yang sehat harus dibangun di atas fondasi diskusi terbuka, transparansi, serta keseimbangan antara teknologi dan kepentingan publik.
Dominasi digital yang semakin meluas bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga masalah etika, politik, dan sosial. Platform raksasa, algoritma, dan kecerdasan buatan telah menjadi kekuatan besar dalam membentuk pola pikir, perilaku, dan keputusan masyarakat. Dengan memahami bagaimana sistem ini bekerja, serta membangun strategi komunikasi digital yang kritis dan inklusif, kita bisa menciptakan masa depan digital yang lebih adil, beretika, dan mendukung demokrasi.
Pertemuan 6 : Algoritma dan Kontrol Politik
Pertemuan dengan narasumber kak Viriya Singgih dari Project Multatuli membahas topik Algoritma dan Kontrol Politik
Pembahasan diawali dengan audiens digital menyinggung social media strategi dari platform digital yang digunakan project multatuli, mulai dari website, Instagram, X, Facebook, TikTok dan YouTube, yang masing masingnya memiliki strategi dan algoritma berbeda beda tiap platform, dan karena beda algoritma ini, beda juga dari strategi kontennya
Web membangun konten orisinal yang menjawab kebutuhan audiens, terpercaya, dan SEO-friendly, pada platform Instagram menggunakan konten visual menarik yang saveable atau shareable, reels dengan hook awal kuat, di X konten real-time yang relevan dan terupdate dan memicu percakapan, di TikTok video yang hook cepat, gaya personal, mengikuti tren yang relevan, di Facebook konten yang ramai interaksi (komentar dan reshare), dan di YouTube konten dengan retensi kuat, memancing klik via thumbnail dan judul yang menarik
Studi kasus langsung pada social media dari project multatuli yang berhasil membangun personal brand edukasi dan update seputar politik dan kontrolnya diterapkan ke konten konten di social media yang digunakan dan berhasil menarik retensi dan tanggapan dari audiens digital
Nilai berita yang diadopsi oleh project Multatuli diantaranya ada impact, proximity(terasa dekat), timeliness(baru-baru terjadi), prominence(orang-orang atau institusi terkenal), novelty dan konflik(perhatian pada konflik). Tetapi, project Multatuli sendiri tidak terus menerus mengikuti algoritma yang condong ke sesuatu yang heboh dan mengonfirmasi bias dan biasanya terjebak dalam bubble, orang-orang cenderung percaya apa yang mau mereka percaya
Cara project Multatuli mengarungi algoritma dengan mengangkat kisah manusia supaya terasa dekat dan natural, menggunakan data untuk pemahaman lebih akan isu, menawarkan kebaruan dengan perspektif segar, selalu berusah berpihak pada publik, berkolaborasi dengan lembaga lain, LSM atau kelompok riset untuk memperluas dampak, serta menjangkau langsung ke pembaca seperti newsletter, whatsapp, pemutaran film, diskusi terbatas dan rapat terbuka untuk membangun kedekatan emosional dengan pembaca.
Pertemuan 7-8 : Masa Depan Demokrasi Digital
Pada pertemuan terakhir dengan mitra Demokrasi Digital adalah sesi diskusi bersama mentor berupa diskusi dan pernyataan masing masing peserta untuk diberikan feedbck oleh mentor tentang apa yang ingin dilakukan/ diubah/ ide-ide baru yang ditambahkan dalam algoritma khususnya di aplikasi dan sosial media
Saat mendapat giliran untuk memaparkan pendapat, saya fokus ke algoritma tiktok, dimana saya ingin aplikasi ini bukan hanya terus mencari user dan mendorong user berlama-lama di aplikasi untuk aktivitas digital, tetapi juga harus memperhatikan dampak psikologis pada creator dan pengguna.
Terlebih kita sering menghabiskan waktu berjam jam buat scroll yang terkadang itu infonya acak juga kita banyak konsumsi konten-konten kurang bermutu, lebih banyak hiburan misalnya seperti yang tadi juga dipaparkan oleh peserta lain
Akhirnya banyak orang yang merasa cemas, burnout membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang terlihat “sempurna” di layar, atau bahkan kehilangan waktu istirahat karena terus terpikat oleh konten baru yang lewat di beranda.
Jadi saya sendiri berharap tiktok:
Menambahkan pengingat otomatis setelah pengguna menonton lebih dari 30–60 menit, bukan sekadar notifikasi yang mudah diabaikan saat sedang scroll
Mengedukasi pengguna dan creator tentang digital well-being, misalnya lewat kampanye yang menormalkan istirahat dari media sosial.
Studi Kasus Berdasarkan Pengalaman:
Kadang pernah muncul ini edukasi juga bentuknya iklan yang berulang itu itu saja di sela sela kita scroll konten bahkan bisa langsung dilewatkan pengguna
Apa yang Sudah Aku Pelajari ?
Di tengah generasi muda yang banyak mulai kehilangan minat pada isu-isu “berat” seperti demokrasi dan literasi digital, aku justru merasa beruntung bisa menjadi bagian dari kelas ini. Setiap sesi membuka mataku tentang bagaimana algoritma bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga sosial, politik, dan bahkan kemanusiaan.
Ada satu refleksi pribadi yang sangat aku rasakan sepanjang perkuliahan ini: burnout karena algoritma.
Sebagai content creator, aku sering merasa cemas kalau performa video turun, kalau engagement menurun, atau ketika algoritma seperti “tidak berpihak” padaku. Aku jadi merasa harus selalu aktif, produktif, relevan.
Dari kelas ini, aku belajar tentang pentingnya digital well-being, kesejahteraan digital yang menuntutku harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan kreatif dan kesehatan mental. Bahwa algoritma seharusnya bekerja untuk kita, bukan sebaliknya. Dan bahwa mengerti algoritma berarti juga tahu kapan harus berhenti, kapan harus sadar, dan kapan harus kembali menjadi manusia di balik layar.
Refleksi dan Kesadaran Baru
Setiap pertemuan di kelas Demokrasi Digital bukan hanya memberiku pengetahuan baru, tapi juga refleksi untuk memahami kembali peranku di dunia digital. Aku belajar bahwa algoritma adalah produk dari budaya manusia yang dibangun dari data, perilaku kita sendiri.
Karena itu, memahami algoritma juga berarti memahami diri sendiri. Bagaimana aku menggunakan teknologi, bagaimana aku menyebarkan informasi, dan bagaimana aku berkontribusi pada ruang digital yang sehat dan demokratis.
Kelas ini membuatku sadar bahwa literasi digital bukan hanya tentang tahu cara pakai aplikasi atau membuat konten, tapi juga tentang menyadari dampak sosial, politik, dan etika dari teknologi yang kita gunakan setiap hari.
Satu semester kuliah bersama Demokrasi Digital, aku tidak lagi melihat algoritma hanya sebagai sistem yang mengatur konten di media sosial. Aku melihatnya sebagai cerminan masyarakat digital. Apa yang kita sukai, apa yang kita klik, dan apa yang kita sebarkan, semuanya membentuk dunia digital kita sendiri.
Aku merasa lebih bertanggung jawab sekarang, baik sebagai pengguna maupun pembuat konten, untuk menggunakan media sosial dengan lebih sadar, dan kritis. Karena memahami algoritma bukan sekadar memahami mesin, tapi tentang memahami bagaimana teknologi bisa tetap berpihak pada kemanusiaan.
Last but Not Least..
Aku bersyukur bisa mengikuti kelas ini. Terima Kasih Demokrasi Digital!
Di antara banyak generasi muda yang mungkin sudah lelah, tone deaf membahas demokrasi digital, aku justru menemukan ruang yang menyadarkan diriku sendiri bahwa di balik layar algoritma, masih ada kita, manusia yang diberi kemampuan lebih untuk berpikir, merasakan, dan memilih untuk tetap sadar dan kontrol terhadap apa-apa yang bisa kita kendalikan, termasuk kebiasaan digital.
0 Komentar